
Tol Cipularang merupakan tol yang menghubungkan daerah Cikampek, Purwakarta, dan Padalarang. Tol ini memang sudah dikenal dengan intensitas kecelakaan yang cukup tinggi. Tak jarang, orang-orang yang melewati rute ini merasa was-was karena banyaknya korban jiwa yang telah jatuh pada ruas tersebut. Kini, kajian secara ilmiah terhadap peristiwa-peristiwa yang berada di rute Tol Cipularang banyak digeluti oleh para akademisi, salah satunya adalah Dicky Muslim yang merupakan alumni Geologi Unpad angkatan 1986 yang sekarang menjadi dosen di Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran. Selain itu, beliau juga pernah menjadi Ketua IAGI Jabar-Banten. Berikut merupakan perbincangan dengan beliau mengenai Tol Cipularang yang akan dibahas secara ilmiah.
Bagaimana kondisi geologi daerah Tol Cipularang?
Tol Cipularang merupakan tol yang diresmikan oleh Megawati pada tahun 2004. Semenjak diresmikan, tol ini memiliki banyak masalah, yang mendominasi yaitu bencana longsor yang salah satu penyebabnya adalah Formasi Jatiluhur yang berada tepat di bawah rute Tol Cipularang. Formasi Jatiluhur yang berada pada titik tertentu rute Tol Cipularang ini sempat menjadi kajian utama para peneliti. Jika dilihat dari sejarah pembangunan tol ini, dirasa bahwa penyelesaian dari proyek tol ini dipercepat dikarenakan permintaan dari presiden terkait pada masa itu. Sehingga, terdapat beberapa ruas jalan tol yang dibangun tidak sesuai dengan rencana awal. Kami pun pernah mengadakan survei, bekerja sama dengan pihak Jasa Marga, untuk melihat daerah-daerah yang pada saat itu mengalami longsor, pergerakan tanah ataupun patahan sehingga pada akhirnya tol tersebut ditutup sementara. Secara geologi, tol ini melewati beberapa patahan dan patahan ini terbilang aktif menurut beberapa studi. Dikarenakan adanya patahan yang aktif dan dilakukannya cut and fill pada lereng-lereng, maka tidak dapat terdeteksi secara rinci mengenai kondisi di bawah permukaan, sehingga banyak bencana yang tidak dapat ditanggulangi.
Kecelakaan di ruas Tol Cipularang sering disangkutpautkan dengan aktivitas mistis. Apakah bisa dijelaskan secara ilmiah mengenai kejadian tersebut?
Kalau daerah kecelakaan yang saya amati, kebetulan ada beberapa kejadian. Menurut saya pribadi, hal tersebut tidak ada sangkutpautnya dengan ‘mistis’. Justru jika kita kembali kepada kasus terburu-burunya pembangunan jalur ini bisa menjadi alasan yang lebih kuat dalam kasus ini. Sebagai contoh, adanya kemiringan jalan pada jalur berkelok pada suatu daerah. Tentunya pada daerah tersebut, kendaraan memiliki kondisi tertentu yang harus dipatuhi agar dapat melewati daerah tersebut dengan selamat. Terdapat juga faktor lain seperti banyaknya penumpang, kondisi kendaraan dan lain-lain. Sehingga secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa kecelakaan yang ada bukanlah disebabkan oleh hal-hal ‘tertentu’.

Apakah ada tindakan yang dapat dilakukan oleh penggiat akademik, dalam rangka mengubah stigma masyarakat dan mengurangi intensitas dari kecelakaan yang sering terjadi di ruas tol tersebut?
Karena kita tidak langsung berhubungan dengan bidang konstruksi jalan yang dilalui kendaraan, tindakan yang dapat dilakukan tentu bersifat himbauan, karena sebagai geologiwan, kajian yang dapat diimplementasikan adalah mitigasi. Namun, hal tersebut pula merupakan ranah dari pihak Jasa Marga dikarenakan wilayah tersebut milik mereka. Peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan seperti kecelakaan tentu dapat dihindari apabila pengemudi dapat menaati peraturan. Jadi sebenarnya bukan dari aspek geologinya, melainkan dari taat aturannya, kecepatan kendaraan, kondisi kendaraan, kondisi pengemudi dan penumpangnya, itu yang justru harus diperhatikan.
Lantas, apakah geologi tidak memiliki peranan yang berarti dalam mengurangi intensitas kecelakaan yang ada di ruas tol ini?
Sebenarnya ada, pada titik KM 92, setelah rest area menuju Jakarta. Terdapat beberapa titik yang mengalami penurunan lahan. Salah satunya terdapat intrusi. Intrusi ini seringkali diasosiasikan dengan sesar karena sesar dapat menjadi jalur keluarnya magma. Dari patahan, juga dapat ditemukan jalur air yang nantinya menggerus perlapisan di sekelilingnya. Kalau terjadi hujan, dapat menyebabkan keretakan. Apabila kita melihat dari kontur jalan, seharusnya terdapat studi detail sehingga masalah kecelakaan dapat ditanggulangi. Namun sejauh ini belum ada tindakan seperti itu. Sebenarnya concern saya tidak mengacu hanya pada Tol Cipularang, namun jalur lain yang mengapit Tol Cipularang yakni jalur dari Padalarang dan jalur Sukabumi-Cianjur. Kedua jalan tersebut juga berkelok-kelok, melewati banyak patahan dan memiliki intensitas kecelakaan yang cukup tinggi pula. Namun dikarenakan jalan ini bukanlah jalan tol, maka ia tidak mendapatkan begitu banyak perhatian. Tak hanya kecelakaan, bahkan bencana longsor juga.
(Widyatri Pusparini/Geocentric)