Potret Masyarakat Wadas di Depan Tugu Perlawanan dengan Beragam Hasil Kebun dalam Upaya Penolakan Pembangunan Tambang. (Twitter: @Wadas_Melawan)
Bertahun-tahun terlewati sejak mayoritas masyarakat Desa Wadas menyatakan ketidaksetujuan akan pembangunan tambang batu andesit di wilayahnya. Kini, aspirasi penolakan itu masih nyaring terdengar dari segenap masyarakat yang masih ingin memperjuangkan hak untuk bisa hidup di lingkungan yang harmonis, setidaknya menurut apa yang mereka yakini. Dari cuitan di kanal media sosial hingga aksi di lapangan mereka lakukan untuk bisa didengar di tengah riuhnya suara alat berat yang kini mulai memapas hutan demi akses jalan menuju tambang yang tak yakin mereka inginkan. Lalu, apa sebenarnya yang masih diperjuangkan masyarakat Wadas hingga kini?
Wadas secara administratif berada di wilayah Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Melalui citra penginderaan jarak jauh, hamparan lahan berbukit yang hijau dengan rimbun pepohonan dapat menggambarkan kondisi alam wadas. Melihat lebih dekat, julukan Alas Wadas sebagai ‘Tanah Surga’ ternyata tak sembarangan. Jauh sebelum dihuni manusia, Wadas sudah terlebih dahulu membentuk ekosistem ideal bersama berbagai macam flora dan faunanya. Kini, sebagian masyarakat desa memanfaatkan potensi alamnya. Berbagai komoditas tanaman, seperti yang diberitakan oleh Project Multatuli, mulai dari kayu sengon, durian, kemukus, vanili, petai, hingga kopi menjadi sumber pendapatan desa yang bernilai tinggi. Masyarakat desa yang turun-temurun mewariskan perkebunan dan pertanian menerapkan sistem multikultur, sehingga hasil panen selalu tersedia sepanjang tahun dari jenis tumbuhan berbeda.
Dari sisi geologi, region Desa Wadas berdiri di atas Formasi Batuan Kebobutak yang disusun oleh litologi batuan beku berupa breksi andesit, batuan piroklastik tuf, tuf lapilli, dan agglomerat, serta sisipan aliran lava andesit. Dengan perkiraan jumlah komoditas dan kualitas yang dianggap ekonomis, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memutuskan untuk membuka tambang batu andesit sebagai upaya pemenuhan bahan baku pembuatan Waduk Bener. Sebuah waduk yang dibangun dengan membendung aliran Sungai Bogowonto yang menurut pemerintah setempat dapat menjawab permasalahan kekurangan air di wilayah Purworejo, sekaligus akan menjadi pembangit listrik tenaga air (PLTA). Pemilihan lokasi pembuatan waduk serta pemilihan material diputuskan berdasarkan analisis geologi dengan mempertimbangakan bebagai aspek, seperti litologi, struktur, hingga geomorfologi wilayah setempat. Rencana pembukaan tambang pun dibuat, bersamaan dengan respon penolakan dari masyarakat karena berbagai alasan.
Eksploitasi akan selalu menimbulkan dampak negatif bagi alam, terutama jika dalam praktiknya tidak disertai analisis dampak lingkungan (AMDAL) upaya reklamasi yang baik. Terlebih lagi, pembukaan tambang yang dilakukan akan menggadaikan berhektar-hektar alam wadas yang asri. Adapun penambangan batu andesit umumnya menerapkan metode open pit, dimana lokasi-lokasi yang menyimpan cadangan batuan akan dikeruk hingga kedalaman tertentu. Walau telah dilakukan perhitungan tentang jarak aman lokasi tambang dengan pemukiman, warga masih sangsi akan dampak ekologis yang akan ditimbulkan. Bagi Masyarakat Wadas, kesuburan tanah dan pasokan air dari 27 sumber air yang tersebar di wilayah desa lebih dari cukup untuk mensejahterakan masyarakatnya selama puluhan tahun. Perubahan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas tambang mungkin akan merusaknya. Karena pada dasarnya sumber air di suatu wilayah cenderung terhubung dalam satu sistem hidrologi yang sama di bawah permukaan, ketika terjadi pencemaran akibat aktivitas tambang dampaknya akan menyeluruh.
Pada Sabtu, 25 Maret 2023 lewat akun Twitter Gerakan Alam Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) diberitakan bahwa telah terjadi banjir di dekat area pembangunan akses jalan menuju tambang. Air banjir menggenangi sebagian area pemukiman warga. Hal tersebut dipercaya terjadi karena penebangan pohon-pohon berskala besar di sekitar wilayah pembangunan. Ketika hujan, karena tidak ada lagi akar pohon yang mengikat, yang terjadi adalah peristiwa run off air ke arah pemukiman warga yang lebih landai. Geomorfologi Desa Wadas yang berbukit-bukit turut menjadi pemicu terjadinya banjir. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang keamanan aktivitas tambang yang diserukan pada masyarakat.

Kondisi Wilayah Desa Wadas yang Digenangi Air Banjir. (Twitter: @Wadas_Melawan)
Polemik antara warga dan pemerintah bergulir hingga sekarang. Kepentingan untuk segera memperluas area tambang berujung pada upaya konsinyasi terhadap aset-aset milik masyarakat. Akibatnya, berbagai organisasi masyarakat semakin gencar melakukan aksi-aksi penolakan. Dibalik manfaat besar yang akan dirasakan setelah Waduk Bener beroperasi nantinya, ada dampak terhadap lingkungan ikut menghantui. Hal tersebut akan selalu jadi tanggung jawab bersama sebagai manusia yang memanfaatkan alam. Jika memang urgensi pembangunan lebih besar, maka satu-satunya cara hanyalah dengan melakukan rekayasa pertambangan yang mengedepankan pada kepentingan masyarakat.
(Amelia Siti Nurfarisyi/Geocentric)