Sisa Danau Bandung Purba yang Masih Digenangi Air di Daerah Padalarang (Sumber: Geocentric)
Cukup menantang tinggal di Kota Bandung itu. Begitulah pernyataan Bapak Titi Bachtiar yang merupakan seorang ahli geografi dalam salah satu kesempatan di kegiatan Kemah Literasi Jawa Barat. Hal ini beliau katakan bukan tanpa alasan, beliau menyimpulkan dari berbagai penelitiannya bahwa Bandung hari ini masih erat kaitannya dengan kenampakan masa lalunya. Keterbentukan Gunung Tangkuban Perahu, terbentuk dan lenyapnya Danau Bandung Purba, serta penamaan wilayah Bandung berdasarkan sejarah alamnya merupakan kunci perkembangan kehidupan di Bandung.
Genesa Danau Bandung Purba
Danau Bandung Purba terbentuk sebagai akibat dari terbendungnya aliran Sungai Citarum Purba. Terbendungnya aliran tersebut terjadi karena suatu erupsi cataclysmic. Peristiwa ini terjadi ketika Gunung Sunda mengalami letusan dahsyat fase ketiga (erupsi ignimbrit), fase terakhir yang material hasil letusannya mengubur apa saja yang ada dibawahnya. Volume material yang dikeluarkan adalah sebanyak 66 km³ yang mengarah ke barat laut, selatan, dan timur laut dari pusat letusan, serta menutupi kawasan seluas 200 km² dengan rata-rata ketebalan 40 m (Hadisantono, Rudy Dalimin., 1988). Banjir material abu vulkanik tersebut akhirnya membendung Sungai Citarum Purba. Aliran Sungai Citarum pada waktu itu tidak seperti sekarang, tapi mengalir dari sebelah utara Cimahi, kemudian membelok ke arah Padalarang. Bekas lembah Sungai Citarum yang dahulu sekarang masih dapat dilihat, yaitu lembah lebar yang dialiri Sungai Cimeta, dekat dengan wilayah Padalarang. Sebagai akibat dari adanya aliran lahar menuju ke sebelah barat ini, terbendunglah aliran Sungai Citarum dekat wilayah Padalarang, sehingga terbentuk Danau Bandung Purba.
Selain itu, seorang peneliti berkebangsaan Belanda bernama Rien Dam menyimpulkan dari penelitiannya bahwa letusan Gunung Sunda bukan merupakan satu satunya penyebab terbentuknya Danau Bandung Purba. Dam menyatakan bahwa subsidensi tektonik dan perubahan iklim yang lebih humid sekitar 125.000 tahun silam turut menjadi faktor pembentukan danau purba ini. Dinamika selama eksisnya danau ini mengalami banyak perubahan, seperti fluktuasi ketinggian akibat efek iklim dan juga erupsi. Material-material erupsi mengisi cekungan dan menyebabkan muka danau menjadi naik.
Bukti Kehidupan Wilayah Bandung Purba
Pada umumnya, wilayah sekitar sumber air cenderung dijadikan daerah pemukiman, termasuk juga danau, lantaran kegunaan dan sumber daya yang dimiliki danau sangat berguna untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau yang ditemukan di tepian dari Danau Bandung Purba (Bronto, 2006). Jenis temuan yang dominan diperoleh di tepian danau Bandung purba adalah alat-alat berbahan obsidian, tanah liat, kaolin, tulang, jasper, dan besi. Hal tersebut didasarkan pada penelitian desk study hasil koleksi Museum Geologi sejumlah 7084 keping (Laili, 2020). Sebagian besar batu obsidian tersebut berupa serpih dan limbah sisa pembuatan (waste products).
Bukti-bukti paleoantropologi tersebut sangat sesuai jika dihubungkan dengan masa adanya Danau Bandung Purba. Adapun peralatan yang ditemukan menunjukkan ciri khas peralatan yang digunakan manusia purba di kala pleistosen. Selain itu, ditemukannya artefak-artefak juga menjadikan bukti adanya daerah tinggi di sekitar danau (kenampakan cekungan). Artefak selalu ditemukan di daerah tinggi, maka sangat masuk akal jika adanya danau di tengah-tengahnya (Koenigswald, 1935). Pernyataan pernyataan di atas adalah bukti konkret yang memperkuat argumen tentang keberadaan Danau Bandung Purba.
Penyusutan Danau Bandung Purba
Sekitar 16.000 tahun yang lalu, diperkirakan bahwa Danau Bandung Purba mulai mengalami penyusutan. Kunci penyusutan danau ini adalah bobolnya dinding-dinding atau batas dari Danau Bandung Purba. Semua peneliti sepakat bahwa bobolnya Danau Bandung Purba terjadi di Lembah Citarum pada Perbukitan Rajamandala, di sebelah barat Bandung. Danau ini menemukan jalan keluarnya di sekitar Saguling (Bemmelen, 1949). Dilihat dari morfologi, kemungkinan titik takiknya berada di area Green Canyon Cikahuripan, hingga Cukang Rahong. Bobolnya dinding danau ini terjadi karena adanya mekanisme erosi ke arah hulu. Proses ini tergolong erosi ekstrem karena surutnya muka air laut secara tajam sebagai akibat pencairan es besar-besaran dari masa glasial akhir (Brahmantyo & Bachtiar, 2009). Sungai kecil yang mengalir di lereng utara dinding secara perlahan menggerus ke arah lereng atas dinding penghalang, hingga pada akhirnya melewati puncak punggungan dan menemukan jalur keluarnya. Aliran tadi terus menggerus dan menoreh hingga memperlebar serta memperdalam lembah kecil yang telah terbentuk. Pada akhirnya, air dari Danau Bandung Purba menemukan jalan keluar untuk mengalirkan airnya ke laut. Pada titik ini pengeringan terus terjadi secara masif hingga secara sempurna telah kering. Keringnya Danau Bandung Purba menjadikan sebuah cekungan Bandung yang kini dikenal dengan wilayah Bandung Raya.

Kearifan Lokal dalam Penamaan Wilayah Bandung
Bandung Tumbuh Dengan Kearifan Lokal Tersendiri. Begitulah slogan yang dijiwai oleh Bandung. Alam Bandung membentuk warganya menjadi kuat dan unggul. Mitos dan legenda juga turut memengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat Bandung. Penamaan wilayah di Bandung juga tidak terlepas dari legenda maupun keadaan alamnya.
Penamaan wilayah Bandung bukan hanya sekedar penamaan dengan bahasa yang tidak memiliki arti. Lebih jauh dari itu, penamaan wilayah Bandung ternyata dapat dikaitkan dengan kesiapan dalam mitigasi bencana. Kondisi wilayah Bandung yang labil karena peralihan wilayah perairan yang luas menjadi daratan menyebabkan Bandung menjadi wilayah yang cukup rawan bencana. Karenanya, perlu adanya kesadaran dan pengetahuan tentang mitigasi bencana. Hal ini dapat diakomodasi melalui penamaan wilayah di bandung yang didasarkan pada keadaan alamnya. Sebagai contoh adalah daerah dengan nama “situ” yang memiliki arti genangan air, salah satunya adalah Cisitu yang dinamai karena masih adanya rawa ketika proses pembangunan. Contoh lain adalah Sukaleueur yang dinamai karena daerah tersebut adalah daerah urugan yang licin karena terkena air. Bukan tanpa alasan, penamaan-penamaan ini menyadarkan masyarakat untuk bersiap dalam segala dinamika alamnya, termasuk daerah rawan banjir yang berkaitan dengan topografi seperti yang telah dijelaskan diatas.

Begitulah Bandung dengan fenomena alamnya. Sikap kewaspadaan terpupuk dari tantangan alam yang ada. Kewaspadaan tersebut mulai dari kewaspadaan banjir, kewaspadaan longsor, hingga kewaspadaan gempa. Legenda dan mitos juga turut memengaruhi dinamika kehidupan di Bandung. Perilaku, adat, ciri, bahkan konsep religi masyarakat Bandung berkembang dari adanya realitas Gunung Tangkuban Perahu dengan legenda Sangkuriangnya ini. Perpaduan legenda dengan peristiwa alam mendokumentasikan kekhasan dan khazanah dari Bandung itu sendiri.
(Rafy Azril Firmansyah/Geocentric)
Referensi
Ar Rahiem, Muhammad Malik. Pertama Kalinya Danau Bandung Dikenali. http://www.malikarrahiem.com/diskursus-danau-bandung-dari-zaman-junghuhn-hingga-sekarang/, diakses pada 25 Maret 2023
Brahmantyo, Budi. 2008. TITIK TAKIK BOBOLNYA DANAU BANDUNG. https://fitb.itb.ac.id/, diakses pada 24 Maret 2023.
Brahmantyo, Budi., Sampurno., Bandono. 2002. Analisis Geomorfologi Perbukitan Saguling-Sangiangtikoro: Pengeringan Danau Bandung Purba tidak Melalui Gua Sangiangtikoro Majalah Geologi Indonesia Vol. 17.
Laili, N. (2022). Jejak Tinggalan Peralatan Obsidian Temuan Terbaru di Kawasan Danau Bandung Purba. JURNAL PANALUNGTIK, 5(2), 122-134.
Prianto, Teguh Ari. 2022. Bandung, Danau Purba Tempo Dulu.https://www.kompasiana.com/, diakses pada 23 Maret 2023.