Scholar Stone: Menggali Filosofi Seni dalam Sebongkah Batu

(Sumber: Parasite, 2019)

Ingat potongan adegan dalam film parasite karya Bong Joon Ho di atas? Penasaran gak sih sama batu yang ditampilkan beberapa kali di berbagai kesempatan itu? Ulik sama-sama, yuk!

Mineral dan batuan sebagai objek estetika telah lama dikenal di seluruh dunia. Jika bicara tentang nilai seni dalam batuan, banyak orang pasti akan teringat akan batumulia beraneka warna dan bentuk. Untuk menghadirkan batumulia cantik yang bernilai ekonomis, mineral-mineral perlu melewati beberapa proses, mulai dari pemotongan hingga pemolesan untuk memunculkan kilaunya. Tapi, tahukah kamu kalau nilai seni dalam batuan alami juga telah lama dilirik oleh para seniman? Batuan alami dalam hal ini artinya adalah batu yang terbentuk di alam tanpa adanya campur tangan manusia untuk memotong, membentuk, ataupun mengukirnya. Istilah seni untuk batu alami yang bernilai estetika tersebut disebut Scholar Stones.

Budaya menjadikan Scholar Stone sebagai objek seni berakar di wilayah Asia Timur, seperti China (Gongshi), Jepang (Suiseki), dan Korea (Suseok). Yup, batu dalam film Parasite juga termasuk ke dalam jenis Suseok! Bagi banyak orang, mungkin bentuk batu menyerupai lanskap pegunungan bertatakan kayu itu tidak terlihat spesial. Tapi, dibaliknya ada nilai seni tinggi dan makna yang mendalam, terlebih dalam membawa makna tersirat berupa kesenjangan sosial yang berusaha ditampilkan Bong Joon Ho dalam film.

Seni dalam Scholar Stone diperkenalkan pertama kali di wilayah kekaisaran China lebih dari 2000 tahun yang lalu. Bentuk batuan yang terbentuk akibat aktivitas alam pada masa itu dipilih berdasarkan nilai estetika dan filosofis yang dihubungkan dengan simbol-simbol kepercayaan Buddha dan Taoisme. Dalam kepercayaan Buddha, batu yang membentuk lanskap pegunungan dipilih untuk mewakili bentuk Gunung Shumi, gunung suci yang dalam mitologi merupakan pusat dunia. Dalam Taoisme, bentuk-bentuk batu yang dipilih menggambarkan Horai, atau tempat yang disebut surga menurut kepercayaan. Kepopuleran Scholar Stone setelahnya menyebar ke wilayah Jepang pada Periode Asuka (538-710 AD) serta wilayah Korea pada Dinasti Joseon (1392–1897). Scholar Stone hingga kini menjadi barang seni yang diperjualbelikan dengan harga tinggi.

Gongshi yang Menggambarkan Gunung Horai (Sumber: italiansuiseki.it)

Di awal masa perkembangan seni Scholar Stone, di masa Dinasti Tang terdapat beberapa aspek estetika yang dinilai. Keempat aspek tersebut meliputi thinness (shou), openness (tou), perforations (lou), dan wrinkling (zhou). Dalam ilmu geologi aspek-aspek tersebut dapat terbentuk secara primer saat proses pembekuan magma menjadi batuan beku, atau secara sekunder karena mikrostruktur maupun pelapukan oleh air, udara, dan es. Jika Scholar Stone yang dipasarkan di wilayah Jepang dan China seringkali melalui proses pemotongan minor dan pemolesan dengan varnish khusus untuk mendukung nilai estetika, sakral dalam budaya Korea untuk membiarkan bentuk, tekstur, dan warna batuan tetap pada keadaan awal ketika ditemukan di alam. “For Korean rock collectors, the essence is you never touch it. As is, the nature is the beauty of the rock,” ucap Kyunghee Pyun, seorang profesor dengan spesialisasi history of collecting dari New York’s Fashion Institute of Technology.

Klasifikasi Scholar Stone menurut kebudayaan Jepang menurut kenampakannya terbagi menjadi 6, diantaranya landscape suiseki yang menggambarkan miniatur bentang alam, object stone yang bentuknya menyerupai makhluk hidup atau benda, celestial yang berpola menyerupai objek astronomi, plant yang memiliki bentuk cetakan tumbuhan karena proses impresi pada sedimen, weather yang menunjukkan tekstur khusus akibat kontak dengan air hujan, sinar matahari, petir, atau salju, dan abstract yang bentuk tak beraturannya bernilai filosofis tinggi.

Pameran Scholar Stone kategori abstract, pattern, object, dan landscape di Southern Luxon (Sumber: Jerome Sagcal, agriculture.com.ph)

Di era modern kini kepemilikan Scholar Stone sebagai objek seni seringkali menjadi tolok ukur mengenai status ekonomi seseorang. Posisinya dapat disandingkan dengan kepemilikan objek lukisan dan kaligrafi, walau popularitasnya masih kalah, Keadaan itu mulai mendorong kemunculan kolektor-kolektor baru dari kalangan seniman dan mereka yang berstatus ekonomi tinggi. Selain sebagai benda tersier berupa pajangan bernilai tinggi, Scholar Stone dengan nilai filosofis dan posisi peletakan khusus dipercaya oleh kalangan tertentu dapat membawa hal-hal baik, seperti keberuntungan, kekayaan, kesehatan, dan lainnya. Gimana, tertarik untuk jadi salah satu kolektor?

(Amelia Siti Nurfarisyi/Geocentric)

Referensi
Anonim. Suiseki: Japanese Viewing Stone. Bonsai Empire. Diakses 7 November 2023 pada https://www.bonsaiempire.com/origin/related-arts/suiseki
Chernick, Karen. 2020. A Highly Collectible Rock Plays a Key Role in the Oscar-Nominated Film ‘Parasite.’ Here’s the Actual Meaning Behind It. Art Net News. Diakses 7 November 2023 pada https://news.artnet.com/art-world/guide-suseok-stone-parasite-1768059.
Covello, V.T., Yoshimura, Y. 1984. The Japanese Art of Stone Appreciation: Suiseki and Its Use with Bonsai. Tuttle Classics.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *